Harga permata Idocrase sudah ada yang dibanderol sampai ratusan juta rupiah. Saat ini hanya dikenal dua nama daerah sebagai sumber permata ini yaitu Sumatera Barat dan Nangroe Aceh Darussalam. Idocrase dari Sumatera Barat dkenal sebagai Sungai Dareh, mungkin dikarenakan jenis batu ini banyak didapatkan dari salah satu sungai di sana, dan Idocrase dari Aceh dikenal dengan nama giok Aceh atau nephrite Aceh.
Karena jumlahnya yang sangat terbatas dan daerah penambangan yang sulit dijangkau sehingga dua jenis idocrase ini menjadi langka dan sulit di dapatkan, kalaupun ada yang tersedia pada etalase penjual permata, itupun bisa didapatkan dengan harga yang mahal.
Tapi hal ini tidak perlu membuat risau bagi pencinta permata lokal nusantara karena sekarang ini telah ditemukan jenis Idocrase baru yang berasal dari Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan. Berawal dari trend pencinta permata melanda juga daerah Soroako dan Malili di Kabupaten Luwu Timur, sekumpulan pencinta akik mulai mengolah kerikil dan batu lokal menjadi permata.
Mereka membuat permata hanya untuk koleksi sendiri, bukan untuk diperjual-belikan. Tanpa sengaja, salah satu dari mereka memungut kerikil atau batu pecah yang ada di halaman mesjid tempat mereka berkumpul dan kemudian dibuat menjadi permata. Permata tersebut berwarna hijau kecoklatan atau Brownish Green dan terdapat totol-totol hitam. Penampilan permata ini tidak jauh berbeda dengan permata Sungai Dareh jenis Kumbang Janti. Perbedaan mencolok hanya dari warna dasarnya saja, Sungai Dareh Kumbang Janti lebih hijau cerah akan tetapi ada juga idocrase Luwu Timur yang berwarna hijau dan hijau kekuningan .
Salah seorang anggota perkumpulan pecinta permata lokal, Andi Zulkarnain mencoba mengirim sampel permata jenis ini ke salah satu laboratorium penguji permata dan hasilnya ternyata jenis permata ini adalah Idocrase Vesuvianite. Tentu hal ini sangat menggembirakan bagi pencinta permata lokal Nusantara khususnya perkumpulan pencinta akik lokal di Luwu Timur, menjadi kebanggaan tersendiri di daerah ini ada jenis permata yang menjadi bahan buruan bagi para kolektor dan pedagang permata.
Sementara dua warga Kecamatan Nuha ini yakni, H. Kahfy dan Musran mengatakan jika batu jenis ini banyak terdapat di Soroako dan sekitarnya sehingga bagi pemburu permata idocrase tidak usah kuatir akan kehabisan. Menurut kedua pentolan kumpulan pencinta akik Soroako tersebut bahwa tidak menutup kemungkinan akan ditemukan jenis yang lebih bagus, Kristal dan memiliki nilai yang lebih baik lagi dan bisa disejajarkan dengan jenis Bio Solar dari Aceh yang nilai jualnya sudah sampai ratusan juta rupiah per bijinya.
Perkumpulan ini memberikan nama pada permata jenis ini yaitu Batu Verbeek atau Verbeek Stone dengan sebutan Sang Verbeek.
Stok bahan baku yang melimpah dinusantara, tidak lepas dari struktur alamnya yang unik. Tak salah bila negeri ini dijuluki "Ratna Mutu Manikam". Kalimantan, sudah menjadi penghasil permata jauh sebelum mantan Presiden SBY berkuasa. Maluku melalui jenis batu yang ditemukan di Bacan, Obi dan Doko. Saat ini, Aceh sudah memunculkan Lumut Aceh, jenis Idocrase. Belum lagi pulau Jawa mulai dari Garut hingga Tulung Agung dengan berbagai jenis Akiknya. Sulawesi dengan Batu Verbeek yang beragam. Bahkan masih banyak jenis batuan yang belum diteliti di Laboratorium Gemstone.
Mencari bongkahan, memotong, membentuk dan memoles batu menjadi permata saat ini adalah sebuah pekerjaan alternatif. Mudah, murah dan meriah. Cukup sedikit nyali untuk mendatangi tempat yang diduga mengandung permata, palu untuk mengambil bongkahan, gerinda dan ampelas. Ditambah sedikit kesabaran untuk mengolahnya, sudah cukup menghasilkan permata yang indah.
Secara sederhana, aspek ekonomi permata dibagi atas produksi, distribusi
dan konsumsi. Sekaitan produksi, ada dua yaitu pengambilan bahan baku
dan proses pembuatan. Di tempat yang mengandung permata, mesti dikelola
dengan baik. Yaitu, bahan baku (bongkahan) tidak dikirim keluar. Tetapi
digunakan oleh pengrajin lokal. Kebiasaan mengirim bahan baku/bahan
mentah mesti dibuang jauh-jauh. Apalagi jika eksploitasinya berlebihan,
hanya akan menyisakan kerusakan alam bagi penduduk setempat.
Idealnya, batu lokal dikelola oleh pengrajin lokal pula. Sehingga biaya
produksi lebih rendah. Bila dikirim keluar, tentu kita hanya bisa
berharap barang jadi (permata) yang harganya pasti lebih mahal dan
kurang menyerap lapangan kerja. Kurang elok jika warga daerah penghasil
yang menjadi konsumennya. Apalagi untuk membuat permata, tidak
dibutuhkan keahlian tinggi untuk menghasilkan sebuah permata yang
cantik. Tidak perlu sekolah kesana kemari yang banyak makan biaya.
Begitupun alat produksinya tergolong murah. Tidak perlu beli mesin yang
mahal. Cukup sebuah gerinda.
Peran pemerintah dan pemerintah daerah tentunya adalah membuat regulasi
yang memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi. Regulasi itu tentunya
harus mengutamakan kesejahteraan rakyat. Sehingga tidak didominasi oleh
orang orang tertentu. Memang untuk hal ini butuh pemikiran yang mendalam
agar lahir aturan yang benar benar berpihak pada rakyat. Bukan
mensejahterakan oknum oknum tertentu diatas keringat orang orang kecil.
Pemerintah juga (seharusnya) berperan penting untuk menaikkan pamor batu
lokal. Seperti (mantan) Presiden SBY yang menjadikan batu Bacan sebagai
cenderamata pada Presiden Obama. Perlu langkah-langkah populer untuk
mengangkat batu lokal. Setidaknya menjadikan batu lokal sebagai tuan
rumah dinegerinya sendiri, Ratna Mutu Manikam. Apalagi jika menjadi
komoditas ekspor, tentu nilai ekonomisnya akan berefek pada kesejateraan
rakyat.
Perlu inventarisasi batu lokal, diteliti dan dikatalogkan sebagai
kekayaan bangsa. Jangan sampai bongkahan dikirim keluar dan diproduksi
dan diklaim dari luar negeri. Tentu disini peran negara untuk memprotek
kekayaan alamnya. Bukan lagi dengan mengundang investor asing agar ada
bagi hasil yang tidak berimbang yang membuat rakyat miskin ditanahnya
sendiri.
0 comments:
Post a Comment